Selasa, 10 Juni 2008

PENJAJAHAN EKONOMI DAN POLITIK DEVIDE ET IMPERA

Oleh : Perdhana Ari Sudewo

Melihat permasalahan bangsa yang akhir – akhir ini diwarnai dengan konflik horizontal, terutama pada hal – hal yang menyangkut SARA mengingatkan kita pada masa penjajahan Belanda dengan politiknya devide et impera atau politik adu domba. Dengan tidak disadari oleh bangsa Indonesia, sebenarnya Indonesia sedang dijajah untuk yang kesekian kalinya, hanya bedanya kalau dahulu bangsa Indonesia dijajah langsung secara fisik dan kekerasan, penjajahan kali ini lebih halus dari itu. Penjajahan sekarang ini adalah sebuah penjajahan pemikiran, ideologi dan penjajahan ekonomi, terlihat dengan berbagai konflik horizontal yang apabila ditilik lebih dalam berakar pada masalah ideologi dan juga penguasaan sektor – sektor ekonomi oleh bangsa asing, dan anehnya Indonesia justru senang dengan penjajahan itu dengan ramai – ramai menjual aset negara dan BUMN ke bangsa asing.

Ini memang hanyalah analisis dari seorang yang masih awam pengetahuannya tentang dunia politik dan perekonomian, apalagi masalah ideologi yang lebih kompleks lagi. Tetapi, bukan berarti orang awam seperti penulis tidak boleh berpendapat ditengah – tengah negeri demokrasi Indonesia, yang katanya menghargai pendapat setiap warganya. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan diskusi ini.

Pertama, marilah kita membicarakan mengenai sejarah. Dari zaman dahulu Indonesia sudah terbiasa dengan kekuasaan asing di tanah Indonesia, dan parahnya hal ini selalu terulang dan mungkin akan terus berulang. Kita awali diskusi ini dengan sebuah ramalan dari Empu Sedah. Beliau hidup zaman Raja Jayabaya yang memerintah Kerajaan Daha, dalam tulisannya dia mengatakan :”Sebuah revolusi dipulau jawa akan timbul, dipimpin oleh orang kulit kuning dan memperoleh kemenangan buat beberapa lama”. Secara tidak langsung, Empu Sedah ingin mengatakan bahwa orang asing akan memimpin Jawa, tepatnya menguasai perekonomian. Kenyataan mengatakan memang benar, orang asinglah yang menguasai perekonomian Indonesia, dan tidak sedikit orang – orang pribumi justru memanfaatkan itu untuk memperkaya diri sendiri dan bukannya melawannya.

Entah sudah menjadi kebudayaan atau apa, tetapi sepertinya hal tersebut terulang kembali saat ini. Di era globlisasi saat ini, entah siapapun presidennya semuanya ramai – ramai menjual aset negara dan BUMN kepada pihak asing dengan dalih privatisasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa privatisasi dilakukan untuk mengembangkan teknologi agar tidak ketinggalan dengan bangsa lain. Entah apapun dalihnya, yang jelas hal tersebut berarti negara telah menyerahkan perekonomian Indonesia kepada pihak asing yang artinya membiarkan pihak asing dapat dengan leluasa membuat kebijakan perekonomian dalam negeri yang nantinya berimbas kepada masyarakat Indonesia, terutama kepada anak cucu bangsa Indonesia. Apabila dalihnya adalah pengembangan teknologi, hal tersebut justru mengindikasikan bahwa pemerintah ingin menyampaikan kepada publik bahwa sistem pendidikan Indonesia telah gagal menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas sehingga untuk mengembangkan teknologi harus diserahkan kepada pihak asing. Pertanyaan selanjutnya, apa yang dapat diharapkan bangsa Indonesia dari SDM yang bobrok akibat kegagalan pemerintah dalam membina SDM-nya? Selajutnya, apakah bangsa Indonesia masih layak disebut sebagai bangsa yang merdeka apabila kenyataannya perekonomian dalam negeri telah dikuasai pihak asing?

Kedua, marilah kita belajar dari penjajah bangsa Indonesia. Pelajaran sejarah di SD telah menjelaskan bahwa Belanda mengunakan politik devide et impera atau politik adu domba untuk memecah belah bangsa Indonesia. Dapat dilihat runtuhnya kerajaan Majapahit, Mataram, Demak yang semuanya hancur karena perang saudara yang apabila ditilik lebih jauh, ada orang – orang asing yang berada di balik itu semua. Melihat fenomena permasalahan bangsa, kerusuhan, kekerasan dan konflik horizontal yang terjadi di Indonesia akhir – akhir ini bukan tidak mungkin hal tersebut merupakan hasil politik devide et impera kedua yang diterapkan di Indonesia yang hanya menguntungkan bagi segolongan orang, dapat berasal dari dalam negeri atau luar negeri.

Apabila mau melihat dengan kejernihan mata dan hati, semua orang yang berkonflik tersebut adalah sama – sama warga negara Indonesia, masih saudara yang ternaungi oleh semboyan bhineka tunggal ika. Sebagian justru merupakan konflik antar umat seagama. Kita dapat melihat konflik di tubuh PKB, konflik MONAS, UNAS sampai beberapa kerusuhan pilkada, mereka semua yang berkonflik bukanlah orang asing. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang katanya merupkn aplikasi sebuah demokrasi bukan tidak mungkin dijadikan sekelompok orang untuk mengadu domba antar warga Indonesia. Yang membuat lebih prihatin, mereka melakukan itu semua dengan senang hati dengan tidak menyadari bahwa mereka semua sebenarnya hanyalah sebuah korban dari kepentingan sekelompok orang.

Ternyata bangsa Indonesia memang bukanlah bangsa yang dewasa yang mampu belajar dari masa lalu kalau tidak mau dikatakan bangsa anak – anak. Terlalu dini mengatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, karena untuk menghormati pahlawannya saja sepertinya bangsa ini tidak mampu. Bangsa ini terus dan terus mengulangi kesalahan di masa lalu.

Tidak ada komentar: