Hati Nurani
Oleh : Perdhana Ari Sudewo
Semua orang tidak asing lagi dengan kata – kata atau istilah hati nurani. Para elit politik sering menggunakan dan mengucapkan hati nurani saat melakukan kampanye. Para pecinta sering mengatakan dan menggunakan istilah hati nurani untuk mengungkapkan cintanya. Ada juga orang yang mengatakan bahwa hati nurani adalah sumber kebenaran. Bahkan, sekarang ada partai politik yang menggunakan nama hati nurani. Semuanya memang boleh berpendapat dan menggunakan istilah hati nurani untuk melakukan apa saja, tidak ada seseorang yang mematenkan istilah hati nurani kan?
Sebenarnya apakah itu hati nurani? Apakah sebuah kata – kata manjur untuk mencari kekuasan sehingga banyak elit politik menggunakannya untuk memenangkan pemilihan umum, entah memilih anggota legislatif atau memilih pimpinan daerah dan presiden. Ataukah kata – kata yang sangat manjur untuk merebut cinta seseorang dan membuktikan bahwa seseorang dapat dengan mudah memperoleh cowok atau cewek. Atau justru sebuah kata yang indah sehingga untuk menamakan suatu partai harus menggunakan kata – kata hati nurani. Mohon maaf bagi yang tersinggung, tetapi apakah sebegitu rendahnya sebuah makna dari hati nurani? Seperti sebuah uang yang dapat digunakan untuk membeli sebuah kekuasaan atau uang yang dapat digunakan untuk membeli cinta seseorang?
Sebagian sahabat yang menurut orang – orang adalah orang bijak mengatakan bahwa hati nurani adalah sebuah penjelmaan dari sifat – sifat Tuhan pada manusia sehingga hati nurani adalah sesuatu yang agung karena di dalamnya ada kebenaran hakiki yang berasal dari Tuhan. Kalau memang itu yang dimaksud dengan hati nurani, alangkah damainya kehidupan ini karena semua orang katanya memiliki hati nurani. Tetapi, kenapa dunia masih saja diisi dengan orang – orang yang gila kekuasaan, hanya mementingkan diri sendiri, setiap hari selalu ada kerusuhan dan peperangan yang setelah dilihat lebih dalam, kepentingan pribadi ada di balik kerusuhan dan peperangan yang terjadi. Tidak semuanya memang, tetapi jumlah orang – orng seperti itu tidak sedikit kalau tidak dikatakn banyak di dunia ini. Pertanyaan selanjutnya, apakah masih relevan pernyataan yang mengatakan setiap orang mempunyai hati nurani? Bukan bermaksud untuk menggurui atau merasa paling benar, tetapi sebagian orang sepertinya memang telah dengan rela menutup hati nuraninya hanya untuk memuaskan dorongan egonya dan menafikan tugas apa yang seharusnya manusia lakukan dalam kehidupannya di dunia. Diri ini pun sekarang juga masih dalam proses pencarian makna apa itu yang dimaksud dengan hati nurani, dan apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam kehidupannya di dunia.
Begitu dalamnya sebagian orang mengubur hati nuraninya sehingga perkataan, tulisan dan suatu kisah yang menyentuh, bening dan terangnya cahaya kebenaran dari Tuhan ternyata juga tidak mampu untuk menggapai hati nurani, tidak mampu menyinarinya dan mengeluarkan dalam terangnya kebenaran. Bagaimana mau menggapai hati nurani, untuk menyapa saja rasanya sudah tidak mungkin. Yang membuat tidak nyaman, ternyata mereka bukanlah orang – orang bodoh, berbagi gelar berderet di depan dan di belakang nama, bahkan setiap hari berbicara dengan menggunakan kata – kata hati nurani. Atau lebih parah lagi, ada sebagian sahabat yang sudah tidak mampu, hidup dalam garis kemiskinan, tidak punya apa – apa tetapi juga tidak mempunyai hati nurani.
Hidup adalah sebuah pilihan, itu memang benar tetapi kalau dapat memilih suatu kebaikan, kenapa harus memilih suatu keburukan. Mungkin, hati nurani memang bukanlah sesuatu yang dapat didefinisikan atau diberi makna, tetapi sesuatu yang dapat dirasakan. Seseorang tidak akan dapat memberikan gambaran tentang hati nurani bagi orang yang telah mengubur dalam – dalam hati nuraninya. Sama seperti orang yang tidak dapat menggambarkan manisnya pisang pada orang yang belum pernah memakan buah pisah. Pisang memang manis, tetapi dikatakan manisnya seperti gula, tidak sama dengan gula. Dikatakan seperti manisnya buah mangga, pisang bukan mangga. Tetapi perlu dicatat, definisi hati nurani yang terakhir hanyalah definisi menurut penulis, boleh ditolak, dicaci maki atau mengganggap hal itu hanyalah pendapat orang bodoh, sah – sah saja mengukapkan pendapat di negei yang berdemokrasi seperti Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar